Minggu, 28 Juni 2009

JK the REAL PRESIDEN

Peristiwa ini terjadi kira-kira tujuh tahun lalu.

Waktu itu Kak Ucu habis dipecat dari jabatan Menteri Perindustrian dan Perdagangan oleh Gus Dur. Maka kembali lah Kak Ucu mengurusi usahanya, termasuk membantu saya dalam berbisnis. Dia 'kan memang senior.

Suatu hari, saya dan Kak Ucu sedang berdiskusi dengan sebuah bank asing di kawasan Sudirman, Jakarta. Waktu itu kami membicarakan soal kredit yang jumlahnya kira-kira mencapai satu triliun.

Bicara lah kami panjang lebar dengan para kreditor itu. Pembicaraannya seru, karena menyangkut uang berjumlah besar.

Saya ingat bener, hari itu hari Jumat. Maka ketika jam menunjukkan pukul setengah dua belas, kami minta break, karena harus sholat Jumat. Kak Ucu bilang, "Sorry, we are Moslem, this is Friday, time to do our Friday prayer." Bule-bule itu mengerti. "OK, OK, we understand."

Dari situ kami jalan kaki ke Pejompongan. Kami pergi sholat Jumat.

Sehabis sholat, 'kan lapar nih. Singgahlah kami di sebuah rumah makan Padang.

Sampe disitu, ternyata Kak Ucu nggak bawa dompet! Wah!

Dia nanya ke saya, "Kamu bawa uang nggak?" Saya sih bawa dompet, tapi begitu dibuka dompet, Masya Allah, isinya Rp25,000 saja!

Waduh, makan di rumah makan Padang berdua 'kan standarnya lebih dari Rp25,000! Amannya punya Rp50,000 lah. Jadi terpaksa Kak Ucu bilang, "Okelah, yang penting kita asal ganjal perut saja. Jangan makan banyak ya!" Saya juga bilang "Eits, Kak Ucu juga sama. Jangan makan banyak ya! Makannya dikit aja, biar uangnya cukup nih!"

Akhirnya kami makan sedikit. Kalo nggak salah, menu kami masing-masing hanya satu potong rendang dan sayur. Kemudian sepanjang makan pun kami menaksir, kira-kira kita bayar berapa, nih. "Kira-kira berapa nih, harga yang kita makan?" Kak Ucu bertanya. "Yaah, antara Rp15,000 sampai Rp20,000 lah total," kata saya.

Tiba-tiba, tengah-tengah makan, seorang teman kami datang, yaitu Profesor Arif dari Fakultas Teknik Elektro Universitas Hasanuddin, Makassar.

Kami harus menyapa, dong, "Eeeeh, Pak Ariiif! Apa kabar? Kapan tiba di Jakarta? Ayo silahkan, silahkan!"

Kenapa ya beliau pas banget lagi di Jakarta? Nggak ngerti juga kenapa kebetulan masuk ke rumah makan yang itu. Akhirnya saya dan Kak Ucu kita saling pandang deh. Kami aja berusaha menghemat, eh, malah ada tambahan tamu. Ironisnya, baru beberapa jam lalu kami bicara uang triliunan rupiah, sekarang Rp25,000 aja nggak punya!

Ya sudah, kami berusaha tenang aja. Siapa tau Pak Arif ada uang. Kalau kepepet sekali, kami pinjam uang sama dia dulu lah.

Lucunya, gara-gara Pak Arif liat kami makannya dikit, dia ikut-ikutan sedikit makannya, hahaha… Alhamdulillah.

Paling tegang ketika bonnya datang. Berapa ni jatuhnya? Kalau lewat seribu perak saja 'kan malu. Alhamdulillah, tagihannya waktu itu Rp24,800. Pokoknya saya ingat bener, kembaliannya hanya 200 perak! Ya sudah, kantongi saja.

Sesudah makan, saya dan Kak Ucu berjalan kaki kembali ke bank. Eeeh, tiba-tiba turun hujan rintik-rintik! Padahal kami harus jalan sekitar 300 meter lagi. Datanglah anak-anak ojek payung menawarkan jasanya. "Pak, Pak, payung, Pak!" Saya bertanya "Berapa?" Mereka menjawab,"500!"

Alamak, uang di kantong 'kan hanya 200 perak. Akhirnya kami lari hujan-hujanan saja… Nasib…

Tidak ada komentar:

Posting Komentar